Sunan Kalijaga ikut merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak, dimana tiang “tatal” atau pecahan kayu merupakan salah satu tiang utama Masjid Demak adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwanya, Sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama dengan guru sekaligus sahabat dekatnya yaitu Sunan Bonang.
Sementara paham keagamaan Sunan Kalijaga cenderung sufistik berbasis salaf, bukan sufi panteistik atau pemujaan semata, namun Sunan Kalijaga juga memilih kesenian dan kebudayaan untuk sarana berdakwah.
Sunan Kalijaga sangat toleran pada budaya lokal dan berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendirian, sehingga harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang, karena itu ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam.
Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah, sehingga Sunan Kalijaga pula yang memulai gagasan adanya perayaan Sekatenan, Grebeg Maulud.
Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja, serta lanskap atau tata kota pusat kerajaan yang berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga, yang dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
Metode dakwah tersebut sangat efektif, sehingga sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, seperti Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Semoga tulisan ini Kidung Rumekso ing Wengi, mantram magis penolak bala ajaran Sunan Kalijaga ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Nantikan selalu tulisan-tulisan lain hanya di iNewsbadung.id, serta silahkan share tulisan ini. ***
Editor : Asarela Astrid
Artikel Terkait