Asal Muasal Nama Salatiga Berdasarkan Sejarah dan Cerita Rakyat

Burhani
Asal Muasal Nama Kota Salatiga (Foto: iNews.id)

SALATIGA, iNewsbadung.id - Kota Sala terletak 49 kilometer di sebelah Selatan Kota Semarang dan 52 kilometer di sebelah Utara Kota Surakarta, serta berada di jalan negara yang menghubungkan antara Kabupaten Semarang dengan kota Surakarta. Dengan letaknya, membuat terbilang sangat strategis di Jawa Tengah.

Seperti dikutip iNewsbadung dari Wikipedia, pada masa Hindu-Buddha, Salatiga telah menjadi daerah istimewa sebagaimana tertera dalam prasasti Plumpungan atau prasasti Hampra. 

Prasasti yang berangka tahun 672 Saka atau 750 Masehi ini ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta. Menurut Soekarto Kartoatmadja, candrasengkala dalam prasasti Plumpungan menunjuk hari Jumat (Suk) rawâra tanggal 31 Asadha atau tanggal 24 Juli 750 Masehi. 

Tanggal tersebut merupakan peresmian Desa Hampra (Plumpungan) menjadi daerah perdikan. Berdasarkan prasasti ini, hari jadi Salatiga ditetapkan pada tanggal 24 Juli 750, yang dibakukan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 tanggal 20 Juli 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.

Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum tentang suatu tanah perdikan atau swatantra bagi Desa Hampra di wilayah Trigramyama yang diberikan Raja Bhanu untuk kesejahteraan rakyatnya. 

Tanah perdikan dikenal pula dengan sebutan sima. Tanah ini biasanya akan diberikan oleh para raja kepada daerah tertentu yang benar-benar berjasa kepada kerajaan atau secara sukarela mendirikan bangunan suci keagamaan. 

Daerah tersebut selanjutnya menjadi daerah otonom yang dibebaskan dari pajak. Daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga saat ini. Untuk mengabadikan peristiwa itulah, Raja Bhanu menulis dalam prasasti Plumpungan kalimat Srir Astu Swasti Prajabhyah yang berarti “semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian”.

Melalui prasasti Plumpungan dapat diperkirakan bahwa daerah Salatiga dulu berada di bawah otoritas Kerajaan Mataram. Di sisi lain, Raja Bhanu yang disebutkan dalam prasasti Plumpungan belum dapat diketahui hubungannya dengan Kerajaan Mataram, tetapi para peneliti menyatakan bahwa seseorang yang mendirikan bangunan suci merupakan seorang bangsawan. 

Kembali lagi pada Prasasti Plumpungan, di sana terdapat nama seorang dewi. Dia adalah Siddhadewi atau dikenal juga Dewi Trisala.

Trisala sangat dipuja-puja dan namanya kemudian tetap dilestarikan. Tempat di mana sang dewi dipuja pun dinamakan Trisala.

Secara hukum bahasa, nama Tri-Sala dapat dibalikkan menjadi Sala-Tri. Kini, nama itu disebut sebagai Salatiga.

Editor : Bramantyo

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network