Asal Usul Upacara Ngaben, Ritual Kremasi Jenazah Umat Hindu untuk Sucikan Roh

Reza Rizki Saputra
Upacara Ngaben di Bali, Ritual Kremasi Jenazah Umat Hindu untuk Sucikan Roh (Foto: instagram)

Berikut prosesi dari  upacara Ngaben :

Ngulapin 

Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan seperti di Rumah Sakit, dan lain sebagainya. 

Upacara dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan dan kuburan setempat.

Nyiramin/Ngemandusin

Prosesi ini merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah).

Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis,dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugerahi badan yang lengkap atau tidak cacat. 

Ngajum Kajang 

Kajang merupakan selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat.

Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak tiga kali, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.

Ngaskara 

Ngaskara memiliki makna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan dapat menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.

Mameras

Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang telah memiliki cucu karena menurut keyakinan masyarakat setempat cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan. 

Papegatan 

Papegatan berasal dari kata pegat yang berarti putus. Makna upacara ini untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan.

Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang telah disusun pada lesung batu dan di atasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut.

Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus. 

Pakiriman Ngutang

Setelah dilakukan upacara papegatan, kemudian dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga).

Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat atau suara angklung yang terkesan sedih.

Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar tiga kali berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing.

Selain itu perputaran ini juga memiliki makna berputar tiga kali di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar tiga kali di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat.Berputar tiga kali di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.

Ngeseng

Ngeseng merupakan upacara pembakaran jenazah tersebut. Jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki air oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta. 

Setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian dikumpulkan dan dirangkai sesuai posisi tulang belulang itu sendiri pada tubuh saat masih utuh. 

Rangkaian dilakukan sedapatnya tulang yang terkumpul, tak harus lengkap.  Rangkaian tulang belulang itu diupacarai kemudian digilas dan dimasukkan ke dalam kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya. 

Sisa tulang lainnya yang bercampur arang kayu yang sulit dikumpulkan, dibungkus dengan kain kafan. 

Nganyud 

Nganyud memiliki makna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. 

Upacara ini biasanya dilakukan di laut atau sungai. Makelud atau Ngaroras  Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Dalam bahasa Bali, 12 merupakan roras. 

Makna upacara makelud atau ngaroras ini melepaskan Ekadasa Indriya (sebelas indria) dan mensucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan.

Editor : Bramantyo

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network