Pasalnya, penampilan mereka yang tidak menggunakan baju dan hanya menggunakan celana, acap kali mendapatkan penolakan dari sopir angkutan umum untuk mengantar mereka hingga ke tempat tujuan.
“Lebih dari 15 kali saya diturunkan dari mobil. Hanya saya dianggap kurang waras karena tidak menggunakan baju. Jadi kalau ditotal,misalnya saya mau menyampaikan undangan kepada masyarakat suku dayak di Kota Bandung, dari Losarang hingga ke Bandung, bisa memakan waktu hingga dua minggu pulang pergi,” terang Tarxim sambil tertawa.
Selain mendapatkan pelakuan buruk dari sopir dan kernet angkutan umum, dirinya kerap kali ditilang polisi, karena tidak menggunakan helm dan tak memiliki Surat Izin Mengemudi.
Namun, tambah tarxim, bukan persoalan pandangan warga yang hingga kini kurang bisa menerima kehadiran mereka yang membuat mereka lebih memilih membangun rumah, jauh dari pemukiman penduduk.
Tetapi, keinginan mereka sendiri yang lebih memilih hidup menyendiri untuk mencari ketenangan agar bisa menyatu dengan alam. Tak jarang, bila malam hari, mereka menyanyikan kidung-kidung hingga meneteskan air mata. Bahkan untuk tidur,hanya anak mereka saja yang menggunakan kasur empuk. Sedangkan Tarxim dan istrinya lebih memilih tidur hanya beralaskan tanah liat.
Seperti Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu lainnya,Tarxim dan istrinya tidak pernah memakan yang bernyawa. Mereka hanya memakan buah-buahan. Bahkan dua anaknya yang belum mengikuti jejak mereka, juga dianjurkan untuk tidak memakan makanan yang bernyawa. Tak heran, bila di rumah mereka hanya terdapat buah-buahan serta sayur-sayuran.
“Kita semua sama-sama mahluk hidup.Untuk apa kita memakan sesama mahluk hidup,” ujar Tarxim menjelaskan alasan mereka untuk tidak menyentuh makanan yang bernyawa seperti daging dan ikan laut.
Bahkan tarxim rela berbagi makanan dengan hewan lainnya, bila saat dia makan, piring yang dia bawa didekati hewan, termasuk anjing dan ayam. Tak heran bila komunitas membiarkan hewan lainnya hidup bebas di tempat tinggal mereka. ***
Editor : Dian Burhani