SOLO, iNewsBadung.id - Tepat 7 hari sebelum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 8 Oktober 2022, gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dikeluarkan dan diperdengarkan di Pagongan komplek Keraton Surakarta Hadiningrat.
Bersamaan dengan dimainkannya gamelan keramat tersebut, ratusan orang tiap hari memadati komplek pagongan yang berada di sisi utara dan selatan Masjid Gedhe keraton.
Keyakinan adanya energy tertentu seiring dengan kumandang suara gamelan ini, membuat warga rela datang jauh-jauh demi menyaksikan dan mendengarkannya secara langsung.
Seperti Wijiati misalnya. Wanita 60 tahun asal Polokarto, Sukoharjo ini rela datang bersama sang anak demi mendengarkan alunan mistis gending sakral gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.
Wiji percaya bahwa suara gamelan ini bisa memberi energy tersendiri pada dirinya. Sehingga ke depan jalan hidupnya senantiasa dinaungi keberuntungan.
“Saya tiap kali sekaten pasti datang ke sini. Karena saya yakin kalau suara gamelan ini bisa mendatangkan keberuntungan. Biasanya saya datang di hari pertama. Tapi kemarin keebtulan sedang sibuk. Sehingga baru bisa datang hari ini,” ujarnya saat ditemui di kawasan pagongan pada Senin 3 Oktober 2022 siang.
Dimainkannya sepasang gamelan peninggalan wali tersebut memang bagian dari tradisi sekaten. Yang merupakan tradisi untuk menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
“Gamelan ini awalnya adalah gamelan pusaka peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun setelah Majapahit runtuh, gamelan yang memiliki nama Kyai Sekar Delima itu diboyong ke Demak. Oleh Sunan Kalijaga gamelan itu dibuatkan pasangan kembar yang diberi nama Kyai Sekati. Yang kemudian dipakai untuk media dakwah,” jelas budayawan Keraton Solo, KGPH Puger.
Pasangan Kyai dan Nyai Sekati terus bertahan dalam misi dakwah para wali, termasuk hingga diciptakannya tradisi sekaten.
Sepeninggal kerajaan Demak, tradisi sekaten terus bertahan meski tidak semeriah sekarang. Karena saat itu sifatnya masih dalam upaya dakwah.
Tradisi sekaten mulai dirayakan secara besar-besaran saat masa kepemimpinan Sultan Agung dari Mataram.
Bahkan saat Mataram terpecah menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogjakarta, tradisi ini tetap bertahan.
Perpecahan di tubuh kerajaan Mataram kontan saja memunculkan pembagian pusaka kerajaan, termasuk gamelan sekaten.
Dari kesepakatan dua raja, akhirnya seperangkat gamelan Kyai Sekati menjadi milik Keraton Surakarta dan Nyi Sekati menjadi milik Keraton Yogjakarta.
“Demi pelestarian tradisi sekaten, masing-masing kerajaan membuatkan pasangan dari gamelan itu. Di Surakarta, Kyai Sekati diubah namanya menjadi Kyai Guntur Madu dan dibuatkan pasangan dengan nama Kyai Guntur Sari. Sedangkan di Yogja, Nyi Sekati diubah namanya menjadi Nyai Guntur Madu dan dibuatkan pasangan dengan nama Kyai Naga Wilaga,” lanjut pria yang juga adik raja Solo Sinuhun Paku Buwono XIII ini.
Sebagai bagian dari tradisi sekaten, gamelan ini selanjutnya dibunyikan selama 7 hari berturut-turut dari usai waktu duhur hingga malam.
Gending Rambu dan Rangkung menjadi irama yang dimainkan secara bergantian dalam tradisi ini.
“Nama Rambu dan Rangkung itu sebenarnya diambil dari bahasa Arab Rabbi dan Raukhon, yang artinya Tuhan dan Jiwa yang Agung,” kata Puger.
Terkait keyakinan adanya kekuatan tertentu di balik alunan gending ini, pria yang suka tampil nyentrik dengan rambut panjangnya ini menyebut, bahwa semua itu tak lepas dari makna yang terkandung dalam arti gending itu.
“Ada nilai-nilai yang menuntut kita untuk selalu berbuat baik dari makna nama gending itu. Makanya bila kita memahaminya, maka hal itu bisa membentuk sugesti yang kuat dalam diri. Sehingga membuat hidup kita selalu dinaungi kebaikan,” tandasnya.***
Editor : Bramantyo
Artikel Terkait