TUBAN, iNewsbadung.id - Syair atau lirik Tombo Ati yang dilantunkan melalui tembang, memiliki makna amat mendalam sekaligus menyejukkan jiwa. Hal ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terciptanya tembang Tombo Ati ini.
Tembang Tombo Ati konon diciptakan Sunan Bonang, salah satu anggota Wali Songo yang terkenal karena kesaktian dan karomahnya.
Tembang Tombo Ati dengan lirik syairnya yang luar biasa dalam maknanya, sudah sejak dulu dari generasi ke generasi di lantunkan masyarakat Jawa, khususnya di kalangan muslim Jawa. Bahkan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bersama kelompok musik Kyai Kanjeng kerap membawakan tembang ini di berbagai kesempatan.
Tembang Tombo Ati semakin dikenal luas setelah Opick mempopulerkan kembali tembang ciptaan Sunan Bonang ini diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2005.
Aunur Rofiq Lil Firdaus (Opick), berkat tembang Tombo Ati, album “Istighfar” terjual lebih dari 800.000 kopi dan meraih berbagai penghargaan.
Berkat Cak Nun dan Opick serta para seniman lainnya, masyarakat Indonesia menjadi akrab dengan tembang Tombo Ati.
Karomah Sunan Bonang memang luar biasa, tembang ciptaannya yang dahulu menjadi salah satu sarana syiar Islam Wali Songo di tanah Jawa, sekarang pun di era modern masih tak kehilangan maknanya.
Dilansir iNewsbadung.id dari buku Jejak Para Wali, konon Sunan Bonang sering mendendangkan tembang Tombo Ati untuk berdakwah kepada masyarakat Jawa yang saat itu masih banyak yang belum memeluk Islam.
Tombo Ati yang digubah Sunan Bonang merupakan tembang tamsil atau suluk yang berisikan nilai-nilai keislaman. Saat melantunkan syair Tombo Ati, Sunan Bonang membunyikan gamelan dengan merdu.
Lantunan lirik Tombo Ati yang berpadu dengan irama gamelan mampu menarik hati orang-orang untuk datang, menyaksikan, meresapi, lalu mendengarkan ajaran Islam dari Sunan Bonang. Tembang Tombo Ati biasanya dilantunkan sebelum sholat atau setelah azan dikumandangkan.
Berikut lirik tembang Tombo Ati dalam Bahasa Jawa :
Tombo Ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Quran lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat wetengiro ingkang luwe
Kaping limo zikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo iso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :
Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Quran dan maknanya
Yang kedua salat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang saleh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima zikir malam perpanjanglah
Salah satunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Allah Ta’ala mencukupi
Sunan Bonang lewat tembang ciptaannya Tombo Ati, mengajarkan kepada manusia untuk mengobati hati dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketika hati seseorang sudah mendekat kepada Tuhan, maka nurani memperoleh pegangan yang maha kuat sehingga tidak mudah terguncang oleh berbagai cobaan hidup.
Melalui tembang Tombo Ati, Sunan Bonang menasehatkan agar hati manusia selalu tenang dan dekat kepada Tuhan ada lima resep obat hati yang harus dilaksanakan. Ke-5 resep obat hati penyejuk jiwa sebagai media mendekatkan diri kepada Tuhan itu adalah membaca Alquran beserta maknanya, mendirikan salat malam, menjalankan puasa, berkumpul dengan orang-orang saleh, serta berzikir di malam hari.
Sunan Bonang nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim (Raden Makdum Ibrahim), nama ini diambil dari bahasa Hindi yang bermakna Cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Sementara Sunan Gunung Jati memberikan nama untuk Sunan Bonang, Syeh Masyaih atau yang sempurna.
Sunan Bonang lahir pada tahun1465 Masehi. Nama Ayahnya adalah Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan nama Ibunya Nyai Ageng Manila (Dewi Condrowati). Dari Dewi Condrowati, Sunan Ampel dikaruniai dua anak laki-laki dan satu anak perempuan, Anak pertama diberi nama Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), anak kedua perempuan diberi nama Nyai Ageng Maleka, dan anak ketiga diberi nama Raden Qasim (Sunan Drajat).
Berkat ilmu yang ditularkan oleh ayahnya, Raden Makdum Ibrahim sudah mulai berdakwah pada usia remaja di negeri Pasai bersama Raden Paku. Selain berdakwah di negeri Pasai, mereka juga berguru kepada beberapa Ulama Tasawuf besar di negeri Pasai yang berasal dari Baghdad, Mesir, dan Iran. Di antara para ulama besar di Pasai itu yang menjadi guru Sunan Bonang adalah Syeekh Awwalul Islam.
Setelah berguru di negeri Pasai, Raden Makdum dan Raden Paku pulang ke tanah Jawa, dan sesampai di tanah Jawa, berpisah menuju daerah masing-masing. Raden Paku kembali ke Gresik dan mendirikan sebuah pesantren di daerah Giri. Sehingga Raden Paku dikenal dengan sebutan Sunan Giri.
Raden Makdum akhirnya melanjutkan perintah ayahnya, berdakwah di daerah Rembang, Tuban dan Lasem. Perjuangan Sunan Bonang tidak terlalu sulit karena masyarakat langsung menerima ajaran yang diajarkan Raden Makdum. Strategi yang dipakai Raden Makdum adalah menggunakan media kesenian untuk berdakwah.
Musik (gending) merupakan media yang dilakukan Sunang Bonang untuk menyampaikan teori-teori Islam kepada masyarakat. Alat musik yang digunakan Sunan Bonang berupa gamelan bonang (semacam gong tetapi lebih kecil ukurannya).
Itulah sebabnya putra Sunan Ampel itu kemudian diberi nama Sunan Bonang. Bila Sunan Bonang membunyikan bonang itu, maka semua orang seperti terkena dorongan gaib berdatangan menghadap Sunan Bonang.
Namun mengenai nama “Bonang” ada juga cerita lain, dimana nama Bonang itu merupakan bentuk penghormatan Sunan Bonang kepada enam muridnya yang telah mengiringi perjalanan dari Makasar dan mendarat di Lasem. Desa di mana Sunan Boang mendarat kemudian dinamakan Bonang, yang enam hurufnya diambil dari nama enam muridnya.
Sunan Bonang dikenal masyarakat Demak karena perannya sebagai pemimpin bala tentara Demak. Sunan Bonang lah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima perang Demak dan Raden Fatah sebagai raja Demak.
Kesaktian tembang yang dilantunkan Sunan Bonang pernah dipergunakan saat menaklukkan pimpinan perampok bernama Kebondanu yang langsung tak berdaya saat mendengar tembang dari Sunan Bonang.***
Editor : Asarela Astrid
Artikel Terkait