KLATEN, iNewsbadung.id - Jejak sejarah gereja di Klaten tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan GKI Sangkrah di Solo, karena semula GKI Klaten menjadi cabang GKI Sangkrah Solo.
Namun sesungguhnya jejak kekristenan telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, dimana para 1918, awal berkecamuknya Perang Dunia Pertama, dan di Klaten telah tertanam benih kekristenan lewat pertobatan keluarga Tionghoa.
Dilansir iNewsbadung.id dari sejarah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klaten, Keluarga Tionghoa Lie Boen Hok telah bertobat karena Pekabaran Injil (PI) Belanda.
Keluarga Kristen mula-mula di Klaten ini dibaptis H.A.Van Andel dari Solo, dan berselang 14 tahun kemudian, jejak keluarga Lie Boen Hok diikuti keluarga-keluarga Tionghoa lainnya.
Pada 28 Februari 1932, Lie Gien Hwa dan Lie Giok Hwa, dan Yoe Soen Nio juga dibaptis oleh H.A.van Andel di Hollands Gereformeerde Kerk (Gereja Djago) di Klaten.
Keluarga-keluarga Kristen mula-mula di Klaten ini pada 1934 membentuk Perkumpulan Pekabaran Injil (PPI) di rumah Keluarga Lie Boen Hok.
Bentuk kegiatan yang dilakukan semacam katekisasi atau persiapan baptis dan sidi, dimana akhirnya kegiatan gerejawi keluarga Kristen mula-mula ini semakin mengalami kemajuan.
Pada 1943 berkat kegigihan pemeluk Kristen mula-mula ini, di Klaten mulai terbentuk persekutuan orang Kristen dengan anggota dari berbagai macam suku bangsa, yaitu Tonghoa, Minahasa, Batak, Indo Belanda, dan Bumiputera.
Melihat perkembangan menggembirakan ini, Arnold Geldermans (Kepala Sekolah Christelijke Hollands Chineese School) mengusulkan agar Persekutuan ini dihimpun menjadi sebuah gereja.
Usulan ini mendapat sambutan sangat baik, maka kelompok Persekutuan ini kemudian menghubungi Gereja Kie Tok Kauw Hwee (KTKH) di Solo meminta izin bergabung dengan mereka.
Permintaan Persekutuan Kristen Klaten ini mendapat sambutan positip dari Gereja KTKH Solo, dan disarankan membentuk panitia.
Kepanitiaan KTKH Klaten terbentuk dengan anggota, Sie Tjiang Kiat, M.A.Londa, Yoe King Djiang, dan Yoe Soen Nio, sehingga pada 9 Mei 1943, KTKH Cabang Klaten resmi berdiri.
KTKH Solo kemudian menugaskan seorang guru Injil Tan Poo Djwan (Pdt. Emiritus Paulus Tanoewidjaya) untuk menggembalakan KTKH Klaten
Memasuki masa pendudukan Jepang yang membawa kesengsaraan bagi segenap rakyat Indonesia, kekristenan di Klaten masih dapat berjalan walau mengalami banyak cobaan.
Namun yang tetap setia melayani di KTKH Cabang Klaten adalah Tan Poo Djwan yang berangkat dari Solo dengan mengayuh sepeda dengan memakan waktu tempuh sekitar dua jam.
Menjelang kemerdekaan, kekristenan di Klaten banyak mengalami hambatan, bahkan untuk alasan keamanan kebaktian Minggu sering dibatalkan.
Hal itu dikarenakan ada daerah yang sudah dikuasai tentara Republik, namun banyak pula daerah di Klaten yang masih dikuasai Belanda.
Inilah yang menyebabkan Kekristenan di Klaten tersendat, dimana tidak hanya dialami KTKH Cabang Klaten, tetapi juga Gereja Negara (Indische Protestanche) di Gereja Jago.
Bahkan Pengurus Gereja Djago, yaitu Hutagalung kemudian menyerahkan gedung Gereja Jago kepada KTKH Cabang Klaten yang diterima Yoe Soen Nio, disaksikan perwakilan Zending Solo Ds.Schutze dan seorang opsir Belanda Van Den Berg.
Sejak itulah (tahun 1948) KTKH Cabang Klaten mulai menempati gedung Gereja Djago, hingga memasuki masa clas yakni tahun 1948-1949 pelayanan masih dilakukan Tan Poo Djwan.
Pelan namun pasti, jemaat di Klaten mulai berkembang dan karena jumlah orang Tionghoa yang dibaptiskan semakin banyak, maka badan Pekabaran Injil kemudian mendirikan gereja untuk mewadahi mereka.
Tanggal 7-8 Agustus 1945, gereja-gereja ini bersidang di gedung Hoa Kiauw Kie Tok Kauw Hwee Magelang, hingga sepakat membentuk Sinode Tionghoa.
Kemudian pada 1949 kembali diadakan Sidang Sinode II di gedung Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, Semarang, dimana pada sidang ini dicantumkan nama Sinode Jawa Tengah yang kemudian diperingati sebagai tanggal lahir GKI Jawa Tengah.
Nama GKI dimulai pada tahun 1956, yaitu ketika Sidang Sinode V di Purwokerto, memutuskan memakai nama Gereja Kristen Indonesia (GKI). Gereja yang tadinya bernama KTKH, THKTKH, dan HKTKH kemudian berganti nama menjadi Gereja Kristen Indonesia (GKI).
Seiring perubahan itu maka KTKH C
cabang Klaten berubah nama menjadi GKI Sangkrah cabang Klaten, hingga akhirnya tahun 1955, GKI Sangkrah Solo menugaskan Guru Injil Oei Djie Kong (Pdt. Em. N.E Jeshua) melayani GKI Cabang Klaten.
Oei Djie Kong dibantu R.M.E. Mangunsusanto yang waktu itu menjabat sebagai sebagai pengurus sekolah Kristen di Klaten.
Peran kedua tokoh ini sangat besar bagi GKI Cabang Klaten, hingga Tuhan menggerakkan hati seorang jemaat, Liem Kok Sing, tahun 1961 mempersembahkan rumahnya sebagai Pastori Gereja.
Tahun 1963 Majelis GKI Sangkrah Solo mengutus Pdt. Tan Tjoe Liang (Tjahyaputra) ke Klaten dengan tugas khusus untuk mempersipkan GKI cabang Klaten menjadi Gereja dewasa.
Banyak kegiatan dilakukan Pdt. Tan Tjoe Liang selama bertugas di GKI Klaten, yakni s ekolah minggu dan Perhimpunan Pemuda Gereja mengalami pertumbuhan pesat di Klaten, demikian juga dengan Komisi Wanita Gereja.
Selanjutnya bulan April 1966, Tjan Poen Ong, S.Th dan istri terlibat dalam pelayanan di GKI Klaten, hingga ditetapkan sebagai pengerja GKI Klaten tanggal 1 Mei 1966.
Dan sebagai puncaknya, 30 Maret 1967, GKI Sangkrah cabang Klaten resmi didewasakan menjadi GKI Klaten.
Tiga bulan kemudian 30 Juni 1967 Tjan Poen Ong, S.Th ditahbiskan menjadi pendeta GKI Klaten yang pertama, dimana penahbisan dilakukan di gedung GKJ Klaseman Klaten, karena gedung GKI Klaten tidak mampu menampung jemaat dan tamu undangan.
Hadir dalam upacara penahbisan yakni 24 pendeta, rombongan Paduan Suara dari Magelang, Yogyakarta, Sangkrah Solo, Coyudan Solo, Wonogiri, dan anggota jemaat gereja-gereja di Klaten, serta pejabat pemerintah. ***
Semoga tulisan GKI Klaten, kisah pertobatan keluarga Tionghoa menjadi tonggak berdirinya gereja ini bermanfaat bagi para pembaca.
Nantikan tulisan ini hanya di iNewsbadung.id, serta silahkan share tulisan ini agar banyak orang mengetahui informasi yang benar. ***
Editor : Asarela Astrid
Artikel Terkait