Situs Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menuliskan, Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja Mataram Islam yang memerintah pada tahun 1613—1645. Pada masa Mataram Islam, motif parang hanya boleh digunakan oleh para raja dan keturunannya (sentana).
Namun, seiring waktu berjalan, masyarakat juga menggunakan batik dengan motif parang. Setelah masa kemerdekaan Indonesia, aturan penggunaan motif batik tersebut mengalami pelonggaran. Namun, motif parang masih menjadi motif yang ditinggikan di lingkungan Keraton Surakarta, Yogyarakta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Selain motif tertua, parang juga mengandung makna yang mendalam. Motif tersebut melambangkan petuah untuk tidak pernah menyerah. Hal tersebut layaknya ombak di lautan yang tak pernah berhenti bergerak.
Motif bataik parang memiliki makna jalinan yang tidak pernah terputus. Hal tersebut tampak dari bentuk seperti “S” yang tak terputus. Jalinan tak terputus tersebut berkaitan dengan upaya memperbaiki diri, upaya memperjuangkan kesejahteraan, dan jalinan kekeluargaan.
Garis diagonal menjadi lambang penghormatan dan cita-cita, serta kesetiaan terhadap nilai yang sebenarnya. Pola parang memiliki dinamika yang disebut sebagai lambang ketangkasan, kewaspadaan, dan kontituinitas antarpekerja.
Sesuai perkembangan zaman, batik parang memiliki beragam jenis, yaitu parang barong, parang kusumo, parang rusak, parang curigo, parang pamor, parang tuding, parang centung, parang klitik, dan masih banyak lagi.
Semua jenis parang ini sudah mempunyai makna sendiri. Masing-masing berbeda penggunaannya yang menunjukkan status orang yang memakainya. Itulah makna filosofis dan sejarah batik parang yang menarik untuk diketahui. Sebagai warisan budaya sangat penting dan bangga memakai batik yang kini telah mendunia.***
Editor : Bramantyo
Artikel Terkait