BADUNG, iNews.id - Ngaben merupakan upacara pembakaran jenazah umat Hindu. Upacara ngaben, yakni suatu ritual yang dilaksanakan untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya. Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut palebon.
Kata Palebon berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem).
Asal Usul Upacara Ngaben
Dari beberapa sumber, Ngaben dalam bahasa Hindu, berarti memisahkan jiwa dari jasad. Pemisahan jasad ini dilakukan melalui kremasi.
Asal-usul ritual ini dilakukan oleh Bharatayuddha (keturunan kaisar Bharata) di India sekitar 400 SM. Mereka percaya, upacara kremasi ini akan membawa kembali tubuh almarhum ke dasar alami tubuh.
Hal ini berkaitan dengan energi air, panas, angin, dan bumi pada alam. Umat Hindu juga percaya dengan kremasi mayat akan membebaskan jiwa mereka dari perbuatan buruk selama hidup di dunia.
Tujuan utamanya, yaitu untuk mengantarkan mereka ke surga dan bereinkarnasi menjadi pribadi lebih baik. Lambat laun, upacara Ngaben mulai masuk ke Bali pada abad ke-8 dan diwariskan secara turun temurun.
Di era modern ini, kebudayaan Ngaben masih terus dilakukan dan menjadi tradisi agama Hindu di Bali. Tujuan Upacara Ngaben Tujuan dari upacara Ngaben, yaitu tak jauh dari pembersihan amal seseorang yang telah meninggal dunia.
Setiap anggota keluarga wajib untuk mengantarkan almarhum dalam memasuki kehidupan yang berikutnya.Sama seperti jenis sistem kepercayaan lainnya, umat beragama Hindu di Bali percaya,tubuh terdiri dari spiritual dan fisik.
Ketika kematian terjadi, masyarakat setempat percaya itu akan memadamkan fisik dan fungsi tubuh. Sementara, roh atau yang disebut oleh masyarakat setempat dengan atma akan tetap hidup selamanya.
Banyak dari mereka menggambarkan kematian sebagai tidur yang panjang. Hal tersebut berarti, tubuh yang tak mampu lagi bergerak, namun roh pada orang tersebut tak sepenuhnya hilang.
Rangkaian Upacara Ngaben Rangkaian upacara Ngaben cukup unik sehingga dapat menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung dan melihat prosesnya.
Berikut prosesi dari upacara Ngaben :
Ngulapin
Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan seperti di Rumah Sakit, dan lain sebagainya.
Upacara dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan dan kuburan setempat.
Nyiramin/Ngemandusin
Prosesi ini merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah).
Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis,dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugerahi badan yang lengkap atau tidak cacat.
Ngajum Kajang
Kajang merupakan selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat.
Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak tiga kali, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
Ngaskara
Ngaskara memiliki makna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan dapat menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
Mameras
Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang telah memiliki cucu karena menurut keyakinan masyarakat setempat cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
Papegatan
Papegatan berasal dari kata pegat yang berarti putus. Makna upacara ini untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan.
Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang telah disusun pada lesung batu dan di atasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut.
Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
Pakiriman Ngutang
Setelah dilakukan upacara papegatan, kemudian dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga).
Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat atau suara angklung yang terkesan sedih.
Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar tiga kali berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing.
Selain itu perputaran ini juga memiliki makna berputar tiga kali di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar tiga kali di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat.Berputar tiga kali di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
Ngeseng
Ngeseng merupakan upacara pembakaran jenazah tersebut. Jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki air oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta.
Setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian dikumpulkan dan dirangkai sesuai posisi tulang belulang itu sendiri pada tubuh saat masih utuh.
Rangkaian dilakukan sedapatnya tulang yang terkumpul, tak harus lengkap. Rangkaian tulang belulang itu diupacarai kemudian digilas dan dimasukkan ke dalam kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
Sisa tulang lainnya yang bercampur arang kayu yang sulit dikumpulkan, dibungkus dengan kain kafan.
Nganyud
Nganyud memiliki makna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah.
Upacara ini biasanya dilakukan di laut atau sungai. Makelud atau Ngaroras Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Dalam bahasa Bali, 12 merupakan roras.
Makna upacara makelud atau ngaroras ini melepaskan Ekadasa Indriya (sebelas indria) dan mensucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan.
Setiap hari dilepas 1 indria hingga hari ke-11. Di hari ke-12 dilakukan upacara penyucian. Mengenai Ekadasa Indriya dapat dibaca pada Manawa Dharma Sastra.
Bentuk dari Upacara Ngaben
Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana merupakan upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh atau tanpa dikubur terlebih dahulu. Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3 -7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut.
Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara, maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah.
Saat ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian dan lain sebagainya.
Hal ini disebabkan sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada di lingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana merupakan upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur.
Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang masih tersisa.
Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi atau Menitipkan di Ibu Pertiwi.
Swasta
Swasta merupakan upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal seperti meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan dan lain sebagainya.
Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
Ngelungah merupakan upacara ngaben untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron merupakan upacara ngaben untuk bayi. Nah, itu dia pembahasan mengenai upacara Ngaben di Bali. Bagaimana? Pastinya sekarang sudah paham kan?
Editor : Bramantyo
Artikel Terkait