SOLO, iNewsbadung.id - Gereja Santa Perawan Maria Regina Purbowardayan, jejak Katolik di Kota Solo ini terkait erat dengan Paroki Purbayan, dimana tahun 1955 mencatat jumlah umat sekitar 3.000 orang.
Gereja yang ada terasa kecil untuk menampung umat, maka Paroki Purbayan memutuskan mencari tanah dan mendirikan gereja baru.
Bermula dari kebutuhan akan adanya gedung gereja yang baru untuk ibadah umat itulah lahir Gereja Santa Perawan Maria Regina Purbowardayan.
Dilansir iNewsbadung.id dari buku sejarah Gereja Santa Perawan Maria Regina Purbowardayan, proses pencarian tanah untuk lokasi gedung gereja tidaklah mudah.
Beberapa pendekatan pun dilakukan, diantaranya ke pabrik gelas, namun gagal, kemudian pendekatan ke Ndalem Dirdjodipuran, hasilnya diurungkan karena tidak ada kata sepakat dalam keluarga.
Namun semua itu tidak menyurutkan langkah, pendekatan diteruskan ke ndalem Ngabean, Kusumabratan, dan juga ke Kusumadilagan, tetapi juga mengalami kegagalan karena tingginya penawaran.
Tanpa diduga, tahun 1957 datang tawaran di daerah Kandang Sapi Purbowardayan seluas kurang lebih 11.000 m2.
Kesepakatan pembelian terjadi dan Romo H. Van Opzeeland, SJ bertindak merancang gambar gedung gerejanya, sehingga pembangunan gedung Gereja Purbowardayan pun dimulai Agustus 1959 dan pelaksanaan ditangani langsung Keuskupan Agung Semarang divisi pembangunan dipimpin Ir.Lie Kok Gwan.
Pembangunan pertama adalah bagian tengah, yaitu altar tengah, dengan lantai dasar dan atap berbentuk salib, dan gedung gereja menghadap selatan.
Sebelumnya telah dibangun aula Gereja yang terletak di barat daya Gereja untuk perayaan Ekaristi atau Misa Kudus sementara.
Bangunan Gereja Santa Perawan Maria Regina memiliki tiga bagian utama, yaitu gedung gereja, gedung Pastoran, dan Aula Gereja.
Di belakang gedung Gereja terdapat bangunan tempat Lonceng Gereja yang sayangnya belum ada loncengnya saat itu.
Bentuk bangunan gedung gereja perpaduan bentuk pendhopo dan salib, mengambil dari arsitektur Jawa dengan tiang-tiang sebagai penyangga atap tidak dibuat dari kayu tetapi dari beton.
Kontruksi atap juga bukan dari kayu tetapi dari beton, dengan bentuk atap limasan.
Bangunan gedung gereja merupakan dua rumah, satu membujur dari barat ke timur dan satu lagi dari utara ke selatan sehingga merupakan satu kesatuan membentuk salib.
Pembangunan gedung Gereja selesai dilaksanakan tahun 1961dan ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Mgr. Albertus Sugijopranoto, SJ, Uskup Agung Semarang.
Prasasti ditulis pada batu marmer dan diletakkan di dinding depan sebelah kanan Gereja, 26 November 1961, sehingga Gereja Maria Regina Purbowardayan resmi berdiri sejak 26 November 1961.
Bersama itu pula berdiri Paroki Purbowardayan, dimana pembangunan gedung gereja melibatkan para Imam yang berkarya di Surakarta, umat setempat, dan Keuskupan Agung Semarang.
Dana dari umat kira-kira hanya seperlima belas dari jumlah dana yang dibutuhkan, sedangkan tenaga dari umat yang sebagian besar pemuda juga dikerahkan terutama untuk membersihkan barang-barang rongsokan, membersihkan limbah dan dipakai sebagai tanah urugan, dimana umat melakukan kerja bakti terutama hari Minggu.
Peresmian gereja disertai Misa Besar dipimpin Uskup Agung Semarang Mgr. Albertus Sugijopranoto SJ, dengan hiburan yang dapat dinikmati masyarakat umum yaitu pentas wayang kulit.
Pagelaran wayang kulit semalam suntuk diadakan di depan halaman gereja selaras dengan bangunan Gereja Santa Perawan Maria Regina Purbowardayan yang njawani maka hiburan pun njawani.
Sejarah Umat katolik di Solo
Sejarah umat Katolik di Solo sangat luar biasa, karena tahun 1950, di Solo sudah ada dua Gereja Katolik yang berdiri, yaitu Gereja St. Antonius Purbayan dan Gereja Katolik St. Petrus yang terkenal dengan sebutan Gereja Gendengan.
Keberadaan dua buah gereja ini menjadi bukti bahwa agama Katolik sudah mulai berkembang pesat di Solo dan sekitarnya.
Sebagai bentuk pengakuan berkembangnya umat Katolik di Solo, taggal 19 - 20 Oktober 1951diadakan konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia di Pendopo Ndalem Kusumuyudan Surakarta.
Peran umat Katolik Solo tidak hanya kegiatan kegamaan saja, tetapi juga perayaan Misa Tripria di lapangan Bruderan saat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1952.
Tahun berikutnya, 1953 Monsigneur Albertus Soegijopranoto, SJ datang ke Kota Solo untuk memberkati empat frater menjadi imam atau Romo yang dijamu Walikota Solo.
Kebahagiaan ini diikuti dengan perkembangan luar biasa dengan banyaknya warga Solo yang menjadi penganut Katolik, ditandai jumlah baptisan yang mencolok di tahun 1954, meliputi 435 orang, 106 bayi, serta baptisan siswa dari sekolah Yayasan Katolik seperti Kanisius, Marsudirini, dan Pangudi Luhur.
Selama tahun 1954 telah dipermandikan sekitar 608 orang, sehingga tidak heran bila saat misa malam Natal 1956 yang diselenggarakan di Balikota, undangan 2.000 kartu tidak mencukupi.
Sementara tahun 1957, Kanjeng Adipati Mangkunegoro VIII menyediakan Pendopo Agung untuk perayaan Natal, dimana Mgr. Soegijopranoto, SJ Uskup Agung Semarang berkenan memimpin Misa Natal di Pendopo Mangkunegaran.
Suasana religius di pendopo agung ini memberi inspirasi bagi Romo J. Darmoyuwono untuk membangun gereja baru bercorak Jawa Paroki Purbayan, mencatat jumlah umat sekitar 3000 orang berbentuk Joglo, yakni Gereja Santa Perawan Maria Regina Purbowardayan.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca, dan nantikan selalu tulisan-tulisan lain hanya di iNewsbadung.id. ***
Editor : Asarela Astrid