GRESIK, iNewsbadung.id - Tembang Cublak Cublak Suweng diciptakan Sunan Giri pada 1442 M, di mana tembang dolanan ini sesungguhnya mempunyai makna tersembunyi.
Lirik tembang Cublak-Cublak Suweng terkesan sangat sederhana, tetapi jika dilihat lebih mendalam, lirik yang terkandung dalam lagu dolanan Cublak-Cublak Suweng sarat akan makna.
Dilansir dari buku Jejak Para Wali, pada masa itu, tembang Cublak-Cublak Suweng untuk mengiringi dolanan (permainan) yang dimainkan anak-anak.
Tembang Cublak-Cublak Suweng dimainkan tiga orang atau lebih, dengan cara permainan adalah satu orang menunduk dan teman-teman lain membuka telapak tangan mereka dan meletakkan di atas punggung teman yang menunduk tadi. Kemudian menyanyikan Cublak-Cublak Suweng sampai akhir.
Cublak cublak suweng.. ( tempat anting)
suwenge ting gelenter.. (antingnya berserakan)
mambu ketundung gudel ..(berbau anak kerbau yang terlepas)
pak empong lera-lere ..(bapak ompong yang menggeleng-gelengkan kepalanya)
sopo ngguyu ndelik–ake ..(siapa yang tertawa dia yang menyembunyikan)
sir-sir pong dhele kopong .. (kedelai kosong tidak ada isinya)
sir sir pong dhele kopong... (kedelai kosong tidak ada isinya)
Kata suweng (tempat anting) pada tembang ini merujuk kepada “emas” simbol kekayaan dan kemewahan. Namun suweng juga dapat bermakna Suwung, Sepi, Sejati atau Harta Abadi.
Sedangkan gelenter dalam bahasa Jawa berarti berserakan, karena sesungguhnya harta kekayaan yang kita cari sudah berserakan di segala penjuru bumi.
Sedangkan Gudel (anak kerbau) melambangkan orang bodoh. Kalimat “mambu ketundhung gudèl” bermakna orang bodoh lebih mementingkan mencari harta duniawi dengan menghalalkan segala cara, korupsi, jual beli jabatan tujuannya hanya mencari kebahagiaan sesaat. Orang bodoh dan bebal ini tidak beda dengan orang tua ompong yang kebingungan (Pak empo lera-lere). Meskipun berlimpah harta, namun bukan harta atau kebahagiaan abadi.
Mereka kebingungan dan selalu gelisah karena dikuasai keserakahannya sendiri. Sopo ngguyu ndhelikake diartikan siapa tertawa dia yang menyembunyikan. Mengandung pesan siapa bijaksana, merekalah yang menemukan kebahagian sejati. Merekalah orang orang yang tersenyum dalam menjalani kehidupan, walaupun berada hidup tengah-tengah dunia yang penuh keserakahan.
Sir (hati nurani) pong dhele kopong (kedelai kosong tanpa isi). Maksudnya hati nurani yang kosong. Untuk sampai kepada kebahagiaan yang sejati harus menghindari dari kecintaan kepada kekayaan duniawi yang sifatnya hanya sementara, rendah hati, tidak meremehkan orang lain, serta selalu melatih kepekaan Sir atau hati nuraninya.
Makna keseluruhan lirik yang terkandung pada tembang Cublak-Cublak Suweng yang diciptakan Sunan Giri adalah untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani yang bersih. Tidak dipengaruhi hawa nafsu. Dengan hati nurani akan lebih mudah menemukan kebahagian, dan tidak tersesat jalan hingga lupa akan akhirat.
Tembang Cublak-Cubak Suweng juga sarat pesan moral. Nilai moral yang terkandung dalam lirik tembang Cublak-Cublak Suweng yaitu ajaran moral hubungan manusia dengan Tuhan, ajaran moral hubungan manusia dengan manusia, ajaran moral hubungan manusia dengan diri sendiri, dan ajaran moral hubungan manusia dengan alam.
Sunan Giri memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah Maulana Ishak meninggalkan keluarga isterinya dan berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri juga menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar.
Sunan Giri sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tidak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Raja Majapahit, konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tidak lepas dari pengaruh Sunan Giri.
Sunan Giri diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara.
Dalam keagamaan, Sunan Giri dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Sunan Giri juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung, lagu bernuansa Jawa namun sarat dengan ajaran Islam. ***
Editor : Asarela Astrid
Artikel Terkait