BANYUMAS, iNewsBadung.id - Tepat tanggal 12 Mulud tahun Aboge atau 9 Oktober 2022, warga Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menggelar tradisi tahunan jamasan Jimat Kalisalak.
Ribuan orang pun sejak pagi memadati kawasan di sekitar Langgar Jimat di desa tersebut untuk menyaksikan prosesi sakral ini.
Jamasan Jimat Kalisalak memang selalu menjadi magnet tersendiri bagi warga Banyumas dan sekitarnya.
Sebab dari jamasan inilah, warga bisa mendapat petunjuk terkait apa yang akan terjadi pada setahun yang akan datang. Sehingga mereka bisa melakukan serangkaian rencana agar kehidupan yang dijalani senantiasa baik-baik saja.
Ya, di akhir prosesi sakral ini, sesepuh adat setempat akan membacakan kitab daun lontar yang berisi pesan-pesan simbolis. Yang selanjutnya bisa dimaknai sesuai dengan keyakinan hati masing-masing orang.
Jamasan Jimat Kalisalak sendiri merupakan tradis turun temurun, yang digelar warga Kalisalak sebagai wujud penghormatan kepada Raja Mataram Sultan Amangkurat Agung.
Dalam tradisi ini, warga menjamas pusaka-pusaka peninggalan sang raja, yang sengaja dititipkan ke warga Kalisalak, saat dia dalam perjalanan menuju Batavia untuk melakukan pembicaraan dengan VOC terkait pemberontakan Trunojoyo.
Ada beberapa pusaka yang merupakan milik pribadi Sultan Amangkurat, di antaranya kitab-kitab bertuliskan huruf Jawa Kuno, Arab, dan Cina yang terbuat dari daun lontar, “asus buntut” (bagian pelana kuda yang masuk ke ekor), bekong (tempat air), lading penurat (sejenis pisau), mata panah, mata tombak, serta beberapa bilah keris.
Dalam prosesi itu, pusaka-pusaka berupa bekong, serta senjata dijamas dengan air suci yang diambilkan dari beberapa sumber keramat Desa Kalisalak.
Air suci ini sebelumnya juga dikirab berkeliling desa oleh tiga gadis suci pilihan, sebagai wujud penyucian wilayah Desa Kalisalak dari berbagai energi negatif.
Setibanya di langgar Jimat, air diberikan kepada juru kunci yang diikuti dengan mengeluarkan pusaka-pusaka yang akan dijamas.
Satu persatu pusaka yang berupa logam dijamas dengan air suci bercampur bunga serta dijerang di atas kepulan asap kemenyan.
Selain pusaka milik Sultan Amangkurat, ada juga puluhan pusaka para pengikut sang raja yang juga ikut ditinggalkan.
Nah jumlah pusaka yang begitu banyak inilah, yang selanjutnya memunculkan fenomena tersendiri dalam tradisi ini.
Di mana konon jumlah pusaka itu bisa berubah-ubah di tiap tahunnya. Yang lantas dikaitkan dengan kejadian-kejadian di satu tahun ke depan.
Jumlah keseluruhan dari pusaka tersebut antara 73 hingga 74 buah. Yang mana jumlahnya tak jarang bisa berubah di tiap penyelenggaraan jamasan.
"Selain ada perubahan jumlah, tak jarang ada penampilan yang berbeda dari pusaka-pusaka tersebut. Yang kemudian bisa dikaitkan dengan kejadian setahun yang akan datang. Dan yang tahu terkait perubahan-perubahan itu adalah sang juru kunci," jelas KPHAA Daryonagoro, budayawan dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menghadiri acara ini, saat dihubungi lewat sambungan telepon.
Daryonagoro yang datang sebagai utusan dari Mahamenteri Panembahan Agung Tedjowulan tersebut menambahkan, bahwa dari perubahan-perubahan yang terjadi pada pusaka, sang juru kunci lantas akan menyampaikan sebuah petunjuk gaib yang berupa rangkaian kalimat dalam bahasa Jawa.
"Pesan gaib yang disampaikan tadi berbunyi 'Hana Sangkalaning Tyas' lalu 'Hana Rasaning Jati' dan 'Hana Talining Rasa'," ujar pria yang akrab disapa Kanjeng Cuk ini.
Lebih lanjut Kanjeng Cuk yang datang bersama Abdidalem Sentana serta Sentana Dalem Keraton Surakarta Hadiningrat tersebut menjabarkan bahwa sangkala bisa dimaknai sebagai pergolakan. Sehingga sangkalaninmg tyas maknanya pergolakan batin.
Lalu rasaning jati bisa dimaknai sebagai sebuah kesadaran. Sehingga bila dijabarkan secara keseluruhan memiliki makna bahwa ke depan akan ada pergolakan batin yang membutuhkan kesadaran.
"Kalau menurut pandangan saya, dari pesan simbolik ini gambaran di satu tahun ke depan masih baik-baik saja, meskipun tetap ada dinamika dan gejolak-gejolak kecil di dalamnya. Karena itu yang terpenting, kita semua harus selalu mawas diri dan memperbanyak doa serta tirakat. Agar kita senantiasa dinaungi berkah dan kebaikan," tandas Kanjeng Cuk.
Usai dijamas, benda-benda itu lantas dibungkus lagi dengan kain mori atau kafan yang baru dan disimpan kembali ke dalam tempat penyimpanannya di Langgar Jimat.
Sementara kain bekas pembungkus dan air sisa jamasan dijadikan rebutan warga, karena diyakini bisa mendatangkan berkah.***
Editor : Klasik Herlambang