SOLO, iNewsBadung.id - Ribuan orang berkumpul di pelataran Masjid Gede Keraton Surakarta Hadiningrat untuk menantikan datangnya arak-arakan gunungan sekaten pada puncak perayaan sekaten yang jatuh pada Sabtu 8 Oktober 2022.
Isi gunungan yang terdiri dari berbagai hasil bumi ini memang menjadi incaran para warga, karena diyakini bisa mendatangkan berkah bagi yang mendapatkannya.
Tradisi sekaten sendiri adalah tradisi yang sudah berusia ratusan tahun. Tradisi ini muncul terkait dengan upaya dakwah para wali dalam menjaring pengikut sebanyak mungkin.
Dan seiring berjalannya waktu, di saat jumlah pemeluk agama Islam semakin besar, tradisi sekaten tetap berjalan. Namun ada perubahan bentuk prosesi yang dilakukan.
“Meski ada perubahan bentuk prosesi, namun esensi dari penyelenggaraan tradisi ini tetap sama. Yaitu menebar berkah. Kalau dulu para wali menebar berkah dengan mengenalkan agama Islam, kini berkah yang ditebar disimbolkan oleh gunungan berisi berbagai macam hasil bumi. Sehingga siapa saja bisa memperebutkannya diyakini akan mendapat berkah,” terang KGPH Puger, budayawan Keraton Surakarta Hadiningrat.
Karena itu tak salah bila ribuan orang sudah berkumpul di pelataran Masjid Gede sejak pagi, guna menunggu kedatangan sepasang gunungan sekaten.
Ya, dalam perayaan sekaten pihak keraton memang membuat sepasang gunungan yang disebut dnegan gunungan lanang dan wadon.
Disebut gunungan lanang karena bentuknya seperti kerucut raksasa, serta gunungan wadon karena bentuknya bulat melebar.
Sepasang gunungan itu dipandang sebagai symbol dari awal mula kehidupan. Sebab perpaduan dari keduanya itulah yang kemudian melahirkan kehidupan di dunia ini.
Karena itulah kemudian masyarakat meyakini bahwa ada berkah yang terkandung di dalam sepasang gunungan tersebut.
Arak-arakan gunungan kemudian menyusuri Sitihinggil serta Pagelaran dan terus membelah keramaian pasar sekaten di pelataran Alun-alun Utara Keraton Surakarta Hadiningrat.
Ribuan warga dibuat terkesima dengan iring-iringan gunungan yang dipanggul para prajurit keraton. Seperti terhipnotis, warga yang sebelumnya gaduh mendadak terdiam saat rombongan pengusung gunungan melintas di depan mereka.
Sepasang gunungan itu selanjutnya dibawa masuk ke halaman Masjid Gedhe untuk didoai oleh para ulama.
Begitu bacaan doa usai dipanjatkan para ulama, warga yang sebelumnya sudah bersiap-siap, segera merangsek maju memperebutkan isi gunungan.
Dalam waktu sekejap, seluruh isi gunungan itu langsung ludes diperebutkan warga. Bahkan kerangka gunungan yang terbuat dari batang-batang bambu tak lepas dari jarahan warga.
Mereka meyakini bahwa seluruh materi penyusun gunungan memiliki tuah yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal.
Dan selama ini benda-benda tersebut biasanya lebih banyak dimanfaatkan sebagai jimat.
“Isi dari gunungan berupa makanan rengginang, wajik dan yang lainnya diyakini bisa menjadi magnet rejeki. Sehingga kemudian disimpan untuk kepentingan tertentu,” lanjut Puger.
Sedangkan kerangka gunungan diyakini memiliki kekuatan pelindung. Yang kemudian banyak dimanfaatkan sebagai pagar di sawah atau rumah.
Keyakinan inilah yang kemudian membuat warga begitu bersemangat untuk berebut isi gunungan. Apalagi banyak di antara mereka yang datang dari luar kota.
Maka tentunya akan rugi bila mereka tidak bisa mendapatkan sebagian isi gunungan itu. Sebab tolok ukur keberhasilan meraih berkah diyakini terkait dengan keberhasilan mendapatkan isi gunungan itu. ***
Editor : Klasik Herlambang