KARANGANYAR, iNewsbadung.id - Candi Cetho, jejak kebesaran Hindu di lereng Gunung Lawu Karanganyar dan lambang Warnasramadharma umat Hindu ini menjadi sejarah besar perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah.
Sebagai candi Hindu, Candi Cetho dibangun di lereng Gunung Lawu diatas ketinggian 1496 m dpl, terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa tengah.
Jejak kebesaran Hindu ini dibangun dalam teras-teras berundak, dimana antara teras tersebut dihubungkan tangga batu berjumlah empat buah.
Dilansir iNewsbadung.id dari buku Seri Fakta dan Rahasia Dibalik Candi : Candi Masa Majapahit, ditulis Daniel Agus Maryanto, keempat tangga batu yang menghubungkan antara teras satu menuju teras di atasnya melambangkan Warnasramadharma, yakni empat tahapan yang harus dilalui penganut Hindu di masa hidupnya.
Keempat tahapan Warnasramadharma tersebut adalah Brahmacarya, Grhastha, Wanaprastha, dan Sannyasa.
Tahap pertama adalah Brahmacarya adalah tahapan hidup menjadi murid, dimana pada tahapan ini manusia-manusia yang masih muda diwajibkan mempelajari ilmu sebanyak mungkin pada seorang guru, ditempuh selama 12 tahun.
Setelah lulus, tahap kedua adalah Grhastha, dimana seseorang harus membina sebuah rumah tangga untuk melanjutkan keturunan, serta di tahapan masa-masa keemasan umur ini, ia harus memiliki pekerjaan dan karier bagi kehidupan dan kesejahteraan keluarga.
Setelah tua, manusia harus meninggalkan keluarganya, dan masuk tahap ketiga, yaitu Warnaprastha, dimana seseorang akan menjadi pertapa tinggal di hutan (wana), harus merenungkan kembali segala perbuatan di masa lalu, serta mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Tahapan akhir adalah Sannyasa, dimana pada tahap keempat ini, seorang manusia harus meninggalkan segala yang bersifat keduniawian.
Susunan Candi Cetho berderet dari barat ke timur, semakin ke belakang semakin tinggi, dimana teras paling tinggi dianggap teras paling suci.
Teras berjumlah tujuh buah, melambangkan tujuh tingkatan hidup manusia dalam kepercayaan Hindu, dimana pada tingkatan terbawah sampai ke atas adalah Bhur Loka, Bhuwar Loka, Swar Loka, Catur Loka, Jana Loka, Tapa Loka dan Sapta Loka.
Teras paling bawah di Candi Cetho melambangkan tingkat Bhur Loka, yaitu tingkatan manusia yang dikuasai hawa nafsu, sedangkan teras paling atas, dianggap teras paling suci melambangkan tingkat Sapta Loka, yaitu tingkatan manusia sudah bisa membebaskan diri dari hawa nafsu duniawi sehingga lepas dari hukum karma.
Laporan ilmiah pertama kali tentang Candi Cetho dibuat Van de Vlies pada tahun 1842 dan A.J. Bernet Kempers, dilanjutkan Dinas Purbakala Hindia Belanda (Oudheiddienst Dienst).
Pendirian Candi Cetho berdasarkan prasasti sangkalan welut wiku anakut iku, oleh Bernet Kempers, ahli purbakala Belanda, diartikan tahun Saka 1373 (1451 M), akhir Majapahit.
Pendapat Bernert Kempers ini dikuatkan dengan penemuan batu berhiaskan lambang kebesaran Majapahit, yakni “Surya Majapahit” di halaman Candi Cetho.
Namun patut disayangkan, adanya pemugaran tidak melibatkan ahli arkeologi, sehingga banyak menghilangkan keaslian bentuk awal dari Candi Cetho.
Pemugaran akhir 1970-an banyak mengubah struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan, namun pemugaran ini banyak dikritik para pakar arkeologi.
Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak asli adalah gapura bagian depan kompleks, bangunan kayu tempat pertapaan, patung Sabdapalon, Nayagenggong dan Brawijaya V.
Semoga tulisan Candi Cetho, jejak kebesaran Hindu di lereng Gunung Lawu Karanganyar, ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, sehingga dapat semakin memahami sejarah keberadaan Candi Cetho.
Nantikan terus tulisan-tulisan lain hanya di iNewsbadung.id serta silahkan share tulisan ini. ***
Editor : Bramantyo