get app
inews
Aa Text
Read Next : Piodalan Pura Lempuyang, Penutupan Sementara untuk Turis, Umat Hindu Fokus Bersembahyang

Jejak Abad ke-9, Mengungkap Sejarah Awal Perayaan Galungan di Bali

Selasa, 22 April 2025 | 14:51 WIB
header img
Siapa Sangka? Begini Sejarah Tersembunyi di Balik Hari Raya Galungan (Foto: okezone)

DENPASAR, iNewsbadung.id - Lebih dari sekadar perayaan kemenangan Dharma atas Adharma, Hari Raya Galungan bagi umat Hindu di Bali dan masyarakat Tengger menyimpan kedalaman makna yang terhubung erat dengan leluhur dan alam semesta. 

Berdasarkan berbagai sumber yang dilahirkan termasuk disadur iNewsbadung dari Wikipedia, dirayakan setiap 210 hari sekali berdasarkan kalender Bali pada Budha Kliwon Dungulan, Galungan menjadi momentum spiritual yang kaya akan tradisi dan kearifan lokal.

Dualitas Makna: Bali dan Tengger, Dulu dan Kini
Jika bagi masyarakat Bali, Galungan secara historis diperingati sejak abad ke-9 Masehi sebagai momen kemenangan Dewa Indra atas raksasa Mayadenawa – simbolisasi kebaikan menaklukkan kejahatan – masyarakat Tengger memiliki perspektif unik. 

Sebelum terasimilasi dengan Hindu Dharma Bali pada era 1980-an, Galungan di Tengger dirayakan di wuku galungan sebagai hari untuk memohon berkah bagi desa, sumber air, dan seluruh komunitas. 

Ritual yang dilakukan kala itu kental dengan tradisi barikan, upacara penyucian yang juga digelar setiap 35 hari atau pasca bencana alam.
Pergeseran menarik terjadi seiring waktu. 

Kini, perayaan Galungan di kalangan masyarakat Tengger telah menyatu dengan tata cara Hindu Bali, menghilangkan praktik perayaan Galungan ala Tengger yang khas di masa lalu. 

Namun, esensi penghormatan dan permohonan berkah tetap menjadi benang merah yang menghubungkan kedua tradisi ini.

Lebih dari Sekadar Ritual: Menyambut Roh Leluhur dan Menaklukkan Diri

Keyakinan mendalam di Bali menyebutkan bahwa pada hari Galungan, roh para leluhur kembali ke rumah. Oleh karena itu, umat Hindu Bali menyambut kedatangan mereka dengan doa dan persembahan tulus. 

Inti filosofis dari Galungan terletak pada kemampuan manusia untuk mengendalikan sadripu – enam musuh dalam diri berupa hawa nafsu yang dapat merusak ketenangan batin dan harmoni kehidupan.

Jejak Sejarah: Dari Sri Jayakasunu Hingga Legenda Mayadenawa

Catatan sejarah mengungkapkan bahwa perayaan Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal 15 Saka 804 (882 Masehi). 

Sempat mengalami masa vakum, tradisi luhur ini kemudian dihidupkan kembali oleh Raja Sri Jayakasunu. 

Momentum ini diperingati sebagai kemenangan Dewa Indra dalam menghadapi Mayadenawa, raksasa sakti yang dalam mitologi Hindu Bali dikisahkan melarang persembahyangan dan memaksa masyarakat menyembahnya.

Kisah heroik Dewa Indra yang turun ke bumi (mercepade) untuk menentang kesewenang-wenangan Mayadenawa menjadi narasi penting dalam memaknai Galungan.

Pertarungan sengit di medan curam berakhir dengan kekalahan Mayadenawa, menegaskan bahwa kebenaran pada akhirnya akan mengalahkan kebatilan.

Rangkaian Sakral Menjelang Galungan: Tumpek Wariga, Penghormatan pada Sang Pencipta Tumbuhan

Jauh sebelum puncak perayaan Galungan, umat Hindu Bali telah melaksanakan serangkaian ritual persiapan. 

Salah satunya adalah Tumpek Wariga, yang jatuh 25 hari sebelum Galungan pada Saniscara Kliwon wuku Wariga. 

Dikenal juga dengan nama Tumpek Bubuh, Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah, hari ini didedikasikan untuk memuja Sang Hyang Sangkara – manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta dan pelindung seluruh tumbuh-tumbuhan di alam semesta.

Tradisi unik mewarnai perayaan Tumpek Wariga. Masyarakat menghaturkan banten (sesaji) berupa bubur sumsum (bubuh) dengan beragam warna yang melambangkan berbagai jenis tumbuhan:
 * Bubuh putih untuk umbi-umbian
 * Bubuh merah untuk tanaman padi dan sejenisnya
 * Bubuh hijau untuk pepohonan yang berkembang biak secara generatif
 * Bubuh kuning untuk pepohonan yang berkembang biak secara vegetatif

Pada hari yang istimewa ini, seluruh pepohonan diyakini akan disiram dengan tirta wangsuh pada (air suci) yang dimohonkan dari pura atau merajan. 

Selain itu, banten berupa bubuh dilengkapi dengan canang pesucian, sesayut tanem tuwuh, dan sasat dipersembahkan sebagai wujud syukur dan permohonan kesuburan. 

Sebagai penutup, pemilik pohon akan mengetuk atau mengelus batang pohon sambil mengucapkan harapan dan doa dalam hati.

Galungan: Jembatan Spiritual Menuju Harmoni

Hari Raya Galungan bukan hanya sekadar tradisi tahunan. Ia adalah perwujudan nilai-nilai luhur, pengingat akan pentingnya menaklukkan diri, menghormati leluhur, dan menjaga keseimbangan alam. 

Dengan memahami kedalaman makna dan rangkaian ritualnya, Galungan menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta, para leluhur, dan alam semesta.


Source: Berbagai Sumber dan Wikipedia

***

Editor : Bramantyo

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut