SOLO, iNewsbadung.id - Pengembang terancam gulung tikar, menjadi kekhawatiran dan keresahan anggota
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Jawa Tengah dan DIY.
Menurut Ketua Umum DPP APERSI Djunaidi Abdilah, keresahan ini muncul karena kuota rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) di tahun 2024 diperkirakan akan habis pada akhir Bulan Agustus 2024.
"Kalau permasalahan kuota ini tidak diatasi, maka akan banyak pegembang bermasalah terutama cash flow karena tidak ada pemasukan dari Bulan September hingga Bulan Desember 2024, bahkan mungkin sampai Bulan Januari tahun 2025," terang Djunaidi Abdilah.
Djunaidi Abdilah menambahkan, sebagaian besar pengembang perumahan yang tergabung dalam APERSI Jateng DIY menggunakan pembiayaan Perbankkan, sehingga berkurangnya kuota rumah subsidi akan mengakibatkan semakin banyak pengembang gagal bayar (NPL), yang akan membuat gulung tikar.
Disebutkan Djunaidi Abdilah, tahun 2021, IPB telah melakukan kajian tentang dampak sosial ekonomi dari program FLPP, di mana pembangunan perumahan mempunyai multiplier effect pada sektor-sektor lain, kurang lebih 185 sektor.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan perumahan merupakan sektor padat karya yang memiliki peran sebagai pendorong dan juga penggerak perkembangan ekonomi masyarakat sekitar.
Sebagai contoh, Djunaidi menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung maupun tidak langsung pada sektor perumahan mencapai 30,34 juta orang.
Dari jumlah tersebut, total pekerja yang langsung terkait dengan sektor perumahan mencapai 19,17 juta orang dan pekerja yang tidak langsung terkait dengan industri pada sektor perumahan adalah 11,17 juta orang.
Sementara hasil kajian BTN tahun 2020 menyebutkan bahwa pembangunan perumahan di satu kawasan akan berdampak terhadap tumbuhnya ekonomi di wilayah tersebut.
Selain itu dikatakan Djunaidi, dampak lain adalah membentuk struktur sosial yang lebih baik bagi pertumbuhan anak dan keluarga.
Sedikitnya, ada lima sektor ekonomi terbesar mengalami dampak ekonomi dari sektor perumahan sehingga setiap tambahan anggaran Rp1 pada sektor perumahan akan menciptakan output terhadap ekonomi sebesar Rp2,15.
Disebutkan Djunaidi, pembangunan perumahan merupakan sektor padat karya, begitu juga program pembiayaan FLPP mempunyai multiplier effect cukup signifikan.
Apabila tahun ini tidak ada penambahan kuota, Djunaidi Abdilah merasa yakin akan berdampak terhadap penurunan sektor lain yang merupakan sektor ikutan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Dilatarbelakangi keresahan ini, DPD Apersi Jateng DIY meminta seluruh Kementrian dan lembaga terkait, agar ada penambahan kuota untuk tahun 2024 minimal 60.000 Unit Rumah Subsidi atau FLPP bagi MBR.
Djunaidi Abdilah menegaskan bahwa Permintaan (demand) untuk rumah subsidi dari tahun ke tahun semakin meningkat, di mana data demand yang ada pada SIKASEP, SIKUMBANG dan real time data dari masyarakat, ada sekitar 300 ribuan setahun di seluruh Indonesia.
Tahun 2024, Kementerian PUPR sudah menetapkan rencana strategis (Renstra) sesuai Perpres 18 Tahun 2020 yakni menjadi 220.000 unit, dengan mempertimbangkan atas berhentinya program rumah subsidi SSB dan BP2BT.
Tetapi kenyataanya, kuota rumah subsidi (FLPP) tahun 2024 hanya dianggarkan 166.000 unit, artinya lebih rendah dari realisasi tahun 2023 yang berada di level 230.000 unit lebih unit (terdiri dari FLPP maupun SSB).
"Itupun masih ada belasan ribu rumah subsidi belum dapat akad KPR karena kuota habis per tanggal 9 Desember 202," terang Djunaidi Abdilah.
Semoga tulisan tentang Pengembang Terancam Gulung Tikar, DPD APERSI Jateng DIY Minta Tambah Kuota Rumah Subsidi, dapat bermanfaat, jangan lupa share dan nantikan selalu tulisan lain hanya di iNewsbadung.id. ***
Editor : Asarela Astrid