BANDA ACEH, iNewsbadung.id - Hari ini, 26 Desember silam tepatnya 18 tahun lalu ada kejadian alam yang sangat dahsyat mengguncang Indonesia, tepatnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tepat pukul 07:58:53 WIB hari Minggu, 26 Desember 2004, Gempa Bumi Dahsyat mengguncang provinsi paling barat di Indonesia, yang saat itu masih dikenal dengan nama Daerah Istimewa Aceh.
Gempa bumi yang mengguncang Aceh saat itu berkekuatan 9,1–9,3 Skala Richter. Pusat gempa berada dibawah laut. Saat terjadi gempa dahsyat, masyarakat aceh tak menyadari bila itu merupakan awal terjadinya gempa.
Awalnya masyarakat menganggap gempa yang mengguncang saat itu sama seperti gempa yang biasa terjadi. Mereka pun asik mengumpulkan ikan di pinggir pantai yang saat itu airnya mengalami surut secara mendadak sesaat terjadinya gempa.
Padahal, Gempa bumi megathrust bawah laut yang terjadi di Aceh terjadi ketika Lempeng Hindia didorong ke bawah oleh Lempeng Burma. Dalam sekejab air yang semula surut, secepat kilat kembali dengan dorongan yang cukup dahsyat menghantam daratan.
Seperti dikutip iNewsbadung.id dari Wikipedia, gelombang tsunami yang menghantam Aceh tingginya mencapai 30 m. Bahkan tsunami Aceh memicu serangkaian tsunami mematikan di sepanjang pesisir daratan yang berbatasan dengan Samudra Hindia.
Masih dikutip Wikipedia, dalam kejadian tsunami, korban jiwa mencapai 230.000 – 280.000 jiwa di 14 negara dan menenggelamkan sejumlah permukiman pesisir.
Gempa dan tsunami ini merupakan salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah. Indonesia adalah negara yang dampaknya paling parah selain Sri Lanka, India, dan Thailand.
Indonesia menjadi negara dengan jumlah korban terbesar yaitu sebanyak 173.741 jiwa meninggal dan 394.539 mengungsi.
Bahkan turis asing yang saat itu berada di Aceh pun menjadi korban tsunami. Pemerintah Swedia melaporkan, warga negaranya di Aceh meninggal sebanyak 534 orang akibat tsunami. Ini membuat Swedia menjadi negara Eropa dengan jumlah korban terbanyak Tsunami.
Daerah paling terparah di Aceh saat Tsunami yaitu Ulee Lheue. Di Ulee Lheue empat dudun raib di telan gelombang Samudra Hindia yang menyapu daratan. Dari 6 ribu-an warga desa ini, lebih dari separuhnya menjadi korban.
Namun dibalik bencana dahsyat ada sebuah keajaiban terjadi. Masjid Baiturrahim Ulee Lheue atau Masjid Ulee Lheue satu-satunya saksi kejadian dahsyat tersebut. Padahal rumah ibadah itu letaknya hanya terpaut puluhan meter dari bibir pantai. Masjid yang didirikan pada abad ke-17 dan merupakan peninggalan Kesultanan Aceh.
Awalnya masjid ini pada tahun 1873 menjadi tempat relokasi sementara jemaah Masjid Baiturrahman Banda Aceh, saat itu Masjid Baiturrahman Banda Aceh terbakar saat peristiwa pengusiran Pasukan Royal Belanda oleh masyarakat Aceh.
Dikutip dari laman disbudpar.acehprov.go.id, Tsunami 2004 bukan yang pertama kali bencana alam yang mencoba meruntuhkan Masjid Baiturrahim.
Dua tahun setelah masjid dipugar itu Banda Aceh diguncang gempa hebat. Tak sedikit bangunan yang hancur karenanya. Bahkan 60 persen bangunan lain di sekitar masjid juga hancur.
Namun meski bangunan lain ambruk, Masjid Baiturrahim masih berdiri. Hanya kubahnya yang roboh. Pasca gempa, kubahnya lalu dihilangkan dan diganti dengan atap biasa.
Selain gempa, masjid ini juga pernah dilanda banjir. Itu terjadi pada 2001. Kendati begitu, masjid tetap kokoh berdiri. Pasca tsunami, masjid ini menarik perhatian banyak pihak dari berbagai belahan dunia.
Sebagai salah satu rumah ibadah yang selamat dari bencana, keberadaan masjid ini menjadi daya tarik wisata bernuansa religi selain Masjid Agung Baiturrahman dan Masjid Rahmatullah Lampuuk.***
Editor : Dian Burhani